Saturday 30 October 2021

Cukai dan Pajak Dalam Perspektif Teoritis

 

a.  Pengertian Cukai

Cukai oleh beberapa sarjana mendefenisikan iaitu yuran wajib yang terhutang kepada negara oleh wajib cukai, menurut peraturan-peraturan  dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung. Cukai tersebut dapat digunakan untuk membiayai keperluan awam yang berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[1]

 

Cukai sebagai kutipan wajib kepada kerajaan terhadap pihak-pihak tertentu mengikut kaedah yang telah ditentukan oleh kerajaan, yang berfungsi untuk perbelanjaan kerajaan seperti pengeluaran, pembiayaan pembangunan, pembiayaan perbelanjaan awam yang berhubung kait dengan tugas kerajaan dalam menjalankan aktiviti pemerintahan.[2] Ia merupakan suatu bayaran yang dimestikan oleh kerajaan sebagai balasan kepada penggunaan pendapatan, kekayaan atau sumber-sumber negara yang lainnya. Namun, bayaran untuk faedah khusus kepada seseorang tidak dianggap cukai seperti bayaran lesen perniagaan, tol lebuh raya dan sebagainya.[3]

 

Pada masa sekarang ini di era globalisasi dan moden, kata cukai dikenal kata dharaib (jamak dharibah). Dan terdapat sebagian ahli mazhab Malikiyah menyebut cukai dengan al-wadhaif atau al-kharaj, begitu pula dengan ulama mazhab Hanafiyah menyebut al-nawaib, sementara kalangan ulama Hanabilah mengenalnya dengan al-kulaf al-sulthaniyah.[4]  Menurut M.A Manan cukai adalah pengambilan dari masyarakat dengan cara paksaan yang diwajibkan bagi orang ramai dalam suatu negeri. Bayaran wajib yang dikenakan kerajaan kepada rakyat yang terlibat dengan asas cukai yang diamalkan.[5] impak secara lansung dari diwajibkannya cukai pada asasnya adalah untuk mengambil sebahagian pendapatan dan kekayaan  rakyat secara adil seterusnya akan diagihka secara tepat sasaran kepada sektor-sektor am dalam rangka mengurangi beban kerajaan dalam membangun perekonomian makro dan mikro untuk mengelak penindasan yang disebabkan oleh praktek  riba bagi negara-negara Islam di dunia.

 

b  Sumber Cukai

 



Hampir Setiap negara Islam di dunia, harus menerapkan sistem percukaian secara intensif dan konfrehensif kepada dua jenis cukai penting, iaitu cukai langsung dan cukai tak langsung, sama halnya dengan yang di amalkan oleh negara Malaysia. Sistem percukaian langsung adalah cukai yang wajib dibayar secara langsung atau terus oleh pembayar cukai.[6] Dalam hal ini, Pembayar cukai tidak boleh memindahkan beban cukai yang dikenakan kepada individu atau syarikat kepada orang lain.[7] Banyak jenis cukai yang dapat dikelompokkan kepada sistem percukaian alangsung, diantaranya cukai pendapatan, cukai keuntungan yang berasal dari harta tanah, cukai aktiviti melalui  perniagaan pesisir Labuan dan juga cukai duti setem.

 

Sedangkan cukai tidak langsung pula cukai yang dikutip tidak langsung daripada pembayar cukai melalui suatu pihak. Cukai jenis ini dikutip daripada orang-orang yang tidak menanggung bebannya. Seperti daripada pengilang, pengimport, penjual dalam negeri kemudian dipindahkan kepada pengguna yang membeli barangan tersebut. Di antara contoh cukai tidak langsung yaitu cukai perkhidmatan, cukai kastam, duti import dan eksport serta cukai jualan.

 

Sistem Cukai pendapatan dibayar oleh invididu yang memperoleh pendapatan dari sebab tinggal dan bekerja di Malaysia dalam masa suatu tahun. Pendapatan yang dimaksud termasuk pendapatan yang didapat daripada perniagaan, penggajian, dividen, sewa, royalti dan lainnya keuntungan. Sedangkan pendapatan masyarakat individu yang didapat dari bekerja di negara luar tidak dihitung sebagai cukai pendapatan.

 



[1] A.A. Barata dan A.A. Adrian, Percukaian (Bandung: CV Amico, 1989), 4.

[2] Hamdan Aini, Percukaian (Jakarta: Bumi Aksara, 1985), 1.

[3] Nor Azizah Abd Manaf, Noraza Mat Udin, Zaimah Zainol Arifin, Pengenalan Kepada Sistem Pencukaian di Malaysia (Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 2004), 1.

[4] A. Malik Madaniy, Pajak dalam Perspektif Fiqh Islam (Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2008), 31.

[5] M. A Manan, Islamic Economic (Pakistan: Lahore Ashraf Publication, 1970), 311.

[6] Nor Shaipah Abdul Wahan dan Hazeline Ayoup, Pengantar Percukaian (Petaling Jaya: Pearson Malaysia, 2006), 2.

[7] Md. Zyadi Md. Tahir et al., Ekonomi Percukaian, 10.

 

 

 

Sunday 4 April 2021

Marketing Dalam Teoritis Islam


Marketing atau pemasaran bermula dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan. Banyak orang yang menduga bahwa pemasaran hanya penjualan dan periklanan saja. Padahal pemasaran merupakan salah satu faktor terpenting sebuah perusahaan untuk mencapai tujuan dan untuk menjaga kelangsungan usaha perusahaan tersebut.


Menurut Philip Kothler, pemasaran adalah proses sosial dan manajerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan serta inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain.[1] Di dalam buku lain disebutkan bahwa pemasaran adalah proses mengkonsentrasikan berbagai sumber daya dan sasaran dari sebuah organisasi pada kesempatan dan kebutuhan lingkungan.[2] Sedangkan pemasaran menurut World Marketing Association (WMA) yang diajukan oleh Hermawan Kartajaya adalah sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan value dari satu inisiator kepada stakeholdernya.[3] Manajemen pemasaran bank adalah suatu proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian dari kegiatan menghimpun dana, menyalurkan dana dan jasa-jasa keuangan lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan, keinginan, dan kepuasan nasabahnya.[4]





Pemasaran yang berkesinambungan semestinya terdapat koordinasi yang baik dengan berbagai departemen (tidak hanya di bagian pemasaran saja), sehingga dapat menciptakan sinergi di dalam upaya melakukan kegiatan pemasaran.

 

2.1.1. Pemasaran Syari’ah

Pemasaran syari’ah adalah sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran, dan perubahan value dari satu inisiator kepada stakeholdernya. Keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah (bisnis) dalam Islam. Pemasaran syari’ah merupakan salah satu muamalah yang dibenarkan dalam Islam, sepanjang dalam proses transaksinya terpelihara dari hal-hal yang tidak dibenarkan oleh ketentuan syari’ah.[5]



Ada empat karakteristik yang dapat menjadi panduan bagi para pemasar, yaitu sebagai berikut :

a.    Teistis (Rabbaniyyah)

Salah satu ciri khas syari’ah marketing yang tidak dimiliki dalam pemasaran konvensional yang dikenal selama ini adalah sifatnya yang religius (diniyyah). Kondisi ini tercipta tidak karena keterpaksaan, akan tetapi berangkat dari kesadaran akan nilai-nilai religius, yang dipandang penting dan mewarnai aktivitas pemasaran agar tidak terperosok ke dalam perbuatan yang dapat merugikan orang lain.[6]


b.    Etis (akhlaqiyyah)

Keistimewaan yang lain dari syari’ah marketing selain karena teistis (rabbaniyyah), juga karena ia sangat mengedepankan masalah akhlak (moral dan etika) dalam seluruh aspek kegiatannya. Sifat etis ini sebenarnya merupakan turunan dari sifat teistis (rabbaniyyah) di atas.[7]


c.    Realistis (Al-Waqi’iyyah)

Syari’ah marketing bukanlah konsep yang eksklusif, fanatis, anti-modernitas, dan kaku. Syari’ah marketing adalah konsep pemasaran yang fleksibel, sebagaimana keluasan dan keluwesan syari’ah Islamiyah yang melandasinya.[8]


d.   Humanistis (Al-Insaniyyah)

Keistimewaan syari’ah marketing yang lainnya adalah sifatnya yang humanistis universal. Pengertian humanistis (al-insaniyyah) adalah bahwa syari’ah diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang dengan panduan syari’ah.[9]


Manajemen pemasaran atau marketing dapat diartikan sebagai analisis, perencanaan, penerapan dan pengendalian terhadap program yang dirancang untuk menciptakan, membangun dan mempertahankan pertukaran dan hubungan yang menguntungkan pasar sasaran dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.[10]    


Dari uraian definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemasaran itu adalah proses awal dari keberhasilan sebuah organisasi dan sangat penting bagi kelangsungan sebuah organisasi, baik organisasi bisnis maupun non bisnis. Dahulu, pemasaran dikhususkan untuk sektor bisnis saja. Akan tetapi pemasaran sekarang ini juga menjadi komponen utama dalam strategi dari banyak organisasi seperti perguruan tinggi, rumah sakit, sekolah-sekolah dan termasuk juga Baitul Mal selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah yang telah ditetapkan.

 



[1] Philip Kothler & Gari Amstrong, Dasar-dasar Pemasaran, Jilid 1,(terj. Alexander Sindoro), (Jakarta : PT. Prenhallindo, 1997), hlm. 6.

[2] Warren J. Keegan, Manajemen Pemasaran Global, (terj. Alexander Sindoro), (Jakarta : PT. Prenhallindo), 1996, hlm.4.

[3] Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir Sula, Syari’ah Marketing, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006), hlm. 25.

[4] Kasmir, Manajemen Perbankan,  (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2007), hlm. 169.

[5] Hermawan Kartajaya & M. Syakir Sula, Syari’ah Marketing, hlm. 25.

[6] Ibid, hlm. 27.

[7] Ibid, hlm. 31.

[8] Ibid, hlm. 34.

[9] Ibid, hlm. 37.

[10] Philip Kotler, Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan dan Pengendalian, (terj. Jaka Wasana), (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1990), hlm. 20.

Perbankan Syariah Part 2

 DASAR HUKUM PERBANKAN SYARIAH


2.1.1. Dasar Hukum Perbankan Syari’ah

Adapun dasar-dasar hukum yang melandasi didirikannya perbankan syari’ah diambil dari al-Quran, Hadits, Peraturan dan   Perundang-undangan Negara Republik Indonesia.

a.    Al-Quran

                             i.          Surat Ar-Ruum : 38

!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$#

“ Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

 

                           ii.          Surat Al-Baqarah: 275

šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz 


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.

 

b.    Hadiṡ

 

                             i.          Hadi dari Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

عَنْ جَابِرِ قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِـلَ الرِّبَــا وَمُؤْكِلَــهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Jabir berkata bahwa Rasulullah saw. mengutuk  orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksi nya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama”. (HR. Muslim no. 2995, kitab al-Masaqqah)

 

                           ii.          Hadi dari Abdurrahman bin Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

حَّدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْـرَةَ عَنْ أَبِيْهِ رَضِي اللهُ عَنْهُمَ قَالَ نَـهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّـمَ عَنِ الْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَالْذَهَـبِ بِالْذَّهَـبِ ِإلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَأَمَرَنَــا أَنْ نَبْتَـاعَ الْذَّهَـبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْـنَا وَالْفِضَّةَ بِالْذَّهَـبِ كَيْفَ شِئْـنَا

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah saw. melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali dengan sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR. Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu )

 

c.     Peraturan dan Perundang-undangan RI

        i.          Periode PAKTO 1998 Tentang liberalisasi Perbankan

        ii.          Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

     iii.          Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun  1992 Tentang Perbankan

              

    iv.   SK.DIR.BI No.32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah

             

      v.        PBI No. 4/1/PBI/2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan  Prinsip Syari’ah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah Oleh Bank Umum Konvensional.

MANAGEMENT SYARIAH

  A. PENGAWASAN DALAM ISLAM Kata pengawasan dipakai sebagai arti harfiah dari kata controlling. Control adalah pengawasan, penilikan, peng...