A.
Pengertian Denda dan Dasar Hukumnya
1.
Pengertian Denda
Di dalam hukum Islam sebutan untuk denda dalam muamalah itu berbeda-beda, ada yang menyatakan denda sebagai ta’widh, dan ada juga yang menyatakan dhaman. Ta’widh secara bahasa berarti ganti rugi sedangkan denda dalam bentuk uang dikatakan ta’widh naqdain. Menurut Majma’ Fiqh Islami, denda adalah membayar imbalan yang diwajibkan karena menyebabkan kemudaratan terhadap pihak lain, dan ta’widh lebih khusus daripada ganti rugi (dhaman) yang ditetapkan menurut nas Syara’ seperti diat.
Istilah denda yang
disebut dengan ganti rugi dalam bahasa Arabnya adalah تعو يض yaitu ganti rugi, yang merupakan mashdar dari عو ض. Sedangkan denda atau
ganti rugi dalam bentuk uang dikatakan dengan تعو يض نقدي. Menurut istilah,
definisi denda adalah hukuman berupa uang yang harus dibayarkan,
karena melanggar peraturan atau undang-undang.[1]
Karakter manusia seperti yang dijelaskan di atas sebenarnya tidak banyak, namun
tetap saja ada pihak yang tidak melakukan kewajibannya dan melakukan
wanprestasi.
Sedangkan ganti rugi yang dikenal dengan istilah adh-dhaman, kata dasarnya dhamina yudhamminu wa dhamanan yang berarti menanggung atau menjamin. Secara harfiyah, dhaman berarti jaminan atau tanggungan. Jaminan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti barang atau sesuatu yang digunakan untuk pertanggungan. Para pakar fiqih mengatakan bahwa adh-dhaman adakalanya berbentuk barang dan adakalanya berbentuk uang.[2]
Dhaman juga diartikan sebagai mengganti kerugian apa
yang dirusak dan masuk dalam kategori barang apa yang dirusak, seperti jika
seseorang merusakkan barang, yang memang ada yang menyamainya, maka dia wajib
mengganti dengan barang yang ia rusak persis seperti semula, jika barang yang dirusak itu
tidak ada yang menyamainya, maka cukup menggantinya
dengan harga atau nilai barang tersebut.[3]
Dhaman merupakan
tanggung jawab akad, yang timbul apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam akad, sehingga menimbulkan kerugian
pada pihak yang lain yang mengharapkan dapat mewujudkan kepentingan melalui
pelaksanaan akad tersebut.[4]
Dalam fatwa DSN No.17/ DSN-MUI/ IV/2000, denda
diartikan dengan sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan
oleh setiap pihak dan dibuat saat akad ditandatangani.[5]
Dalam buku Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ganti rugi dinamakan
dengan ta’widh yang maksudnya adalah
penggantian atas kerugian riil yang dibayarkan oleh pihak yang melakukan
wanprestasi.[6]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, denda diartikan sebagai hukuman yang berupa keharusan membayar dalam bentuk uang (karena melanggar aturan, undang-undang, dan sebagainya).[7] Denda juga diartikan sebagai hukuman berupa keharusan membayar uang atau uang yang harus dibayar sebagai hukuman.[8]
Pentingnya
ganti rugi dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah
pihak tidak terjadi peselisihan. Segala bentuk tindakan yang merugikan kedua
belah pihak baik terjadi sebelum maupun sesudah akad, maka ditanggung oleh
pihak yang menimbulkan kerugian.[9]
Dalam
hukum positif, pengertian denda itu adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada
debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan
penggantian kerugian (kerugian ditambah bunga).[10] Dalam
Pasal 1365 BW ganti rugi adalah kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan
melawan hukum, kerugian tersebut bisa berifat immaterial. Dalam Pasal 1243 BW
disebutkan bahwa ganti rugi yang diakibatkan karena wanprestasi adalah berupa
biaya, rugi dan bunga.[11]
Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa ta’widh,
ganti rugi serta dhaman merupakan denda berupa sejumlah uang
yang harus dibayarkan oleh seseorang yang melakukan wanprestasi atau
palanggaran terhadap suatu akad yang telah disepakati.
[1] Aliminsyah,
Istilah Kamus Keuangan Dan
Perbankan, cet.2 (Bandung: Gema Widya, 2006), hlm. 341
[2]
Nasrun Haroen, Fiqh muamalah,
(Jakarta: PT Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 121
[3] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khatab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 60
[4] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah ( Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 329
[5] Point No. 5 dari Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 17/ DSN-MUI/ IX/ 2000. Perpustakaan Nasional KatalogTerbitan (KDT), Himpunan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Ekonomi Syari’ah: Dilengkapi 44 Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.
[6] Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, (Bandung: FOKUSMEDIA, 2008), hlm. 17
[7] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 311
[8] Tri Kurnia Nurhayati , S.S., M.Pd. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Eska Media, hlm. 194
[9] Nasrun Haroen, Fiqh muamalah, (Jakarta: PT Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 121
[10] Riduan Syahrini, Seluk Beluk Azas-Azas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1985), hlm. 232
[11] Rachmat Setiawan, tinjauan elementer perbuatan melawan hukum,
(Bandung: Alumni 1982), hlm. 29
No comments:
Post a Comment