Friday 5 November 2021

Dasar Hukum Denda Dalam Hujjah Islam

 

Banyak ayat Alquran dan Hadist Nabi Muhammad SAW yang menerangkan tentang dasar hukum denda dan penerapan besar kecilnya hukuman terhadap pelanggar. Islam sangat menjaga hak-hak setiap pemeluknya. Ini menjadi bukti nyata bahwa Islam menata manusia secara sempurna dengan norma-norma yang lengkap, sehingga manusia saling menjaga antara hak dan kewajiban masing-masing dalam hidup bersosial sesama.

Adapun yang menjadi dasar hukum dalam ganti rugi ini adalah Al-qur’an, Al-sunnah, fatwa serta aturan dalam hukum positif. Firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 72 sebagai berikut:


Artinya: ”Penyeru-penyeru itu berkata: “kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS.Yusuf:72)

 

Dalam Tafsir al Misbah, ayat di atas menjelaskan tentang permasalahan yang terjadi pada masa nabi Yusuf yang kehilangan piala rajanya (nabi Yusuf), dan mereka (penyeru-penyeru) mengabarkan barang siapa yang dapat menemukan piala tersebut akan diberikan upah atau imbalan dan penyeru-penyeru tersebut menjamin terhadap orang tersebut.[1]

 

Denda biasanya tercantum dalam persyaratan yang ditetapkan oleh para pihak di sebuah perjanjian, di mana para pihak tersebut harus melakukan sesuai dengan isi yang telah disepakati. Apabila salah satu pihak melakukan hal yang bertentangan dengan isi perjanjian atau ingkar janji, yang membuat pihak lainnya mengalami kerugian, maka pihak yang melakukan wanprestasi bisa dikenakan denda. Ayat Al-qur’an yang menyuruh manusia untuk memenuhi janji yaitu Q.S. al-Maidah ayat 1:


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.(QS. Al-Maidah:1).

 

Dalam Tafsir Ibn Abbas ayat di atas dikatakan bahwa penuhilah janji-janji itu.[2] akad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya,  seperti akad wa’diah (titipan), wakalah, dan lain-lain.[3]  Akad yang telah dibuat tersebut harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, seperti akad perjanjian untuk mengembalikan pembiayaan dan pembayaran iuran pada waktu jatuh tempo. Ayat di atas dijadikan dalil untuk pemenuhan janji aqad yang telah disepakati antara dua pihak yang berakad.

 


Adapun orang yang terlambat menbayar karena tidak mampu dan kondisi yang tidak memungkinkan, dianya tidak didenda. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 280 yang berbunyi:

É

Artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan, dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahuinya. (Q.S. Al-Baqarah: 280).

 

Dalam Tafsir Al-Maraghi ayat di atas dinyatakan bahwa Allah memberikan kelapangan bagi orang-orang yang benar-benar dalam kesusahan sehingga tidak dapat membayar hutangnya, maka sepatutnya bagi orang yang memiliki kelebihan dan kemudahan, Allah memerintahkan untuk menyedekahkan atau melunasi utangnya (baik itu sebagian atau semua utang), hingga orang tersebut kembali mampu membayar utangnya. [4] Tetapi dalam hal ini Allah tidak memerintahkan untuk menunda-nunda pembayaran utang jika orang tersebut mampu membayarnya.

 


Dalam hal ini Allah juga melarang melakukan perbuatan aniaya dan zhalim dalam firman Allah SWT QS. Ibrahim ayat 42 yaitu:


Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak,(QS.Ibrahim: 42)

 

Ayat ini menyatakan dan janganlah sekali-kali engkau siapapun engkau mengira, bahwa Allah lalai sehingga Allah lupa dalam arti tidak menjatuhkan sanksi dari apa yang diperbuat oleh orang-orang zhalim, yaitu mereka yang mempersekutukan-Nya, tidak mensyukuri nilmat-Nya atau menganiaya dan menzhalimi orang lain.[5] Memang engkau melihat mereka bagaikan hidup bahagia memperoleh aneka kesenangan dan kekayaan, tetapi ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hanya member tangguh mereka beberapa saat sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.[6]

 

Kezhaliman adalah nama untuk sesuatu yang diambil tidak dengan cara yang benar. Berbuat zhalim berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya yang tepat, ini menurut pandangan syariat. Sedangkan perampasan (ghashb) adalah mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan.[7]

 

 



[1] M. Quraisy Shihab,Tafsir al Misbah, Jilid 6 (Jakarta:Lentera Hati, 2005), hlm.. 500

[2] Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Jami’al Bayan ‘An Takwil Ayil Al Quran (jilid, 9, hlm 499 dan 450) dengan sanad-nya, dia berkata Al Mutsanna menceritakan kepadaku, dia berkata: Abdurrahman bin Shalih menceritakan kepadaku, dia berkata: Muawiyah bin Shalih menceritakan kepadaku, dari Ali dari Ibnu Abbas, kemudian disebutkan atsar ini. Dikutip dari Tafsir Ibnu Abbas,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).  hlm. 227

[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an”, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 5

[4] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, juz III, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang), hlm. 117-118

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an”, hlm. 72

[6] Ibid.,

[7] Ibn Hajar Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafizh, Fathul Baari (Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari)Bab:  Kitab Perbuatan Aniaya , (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hlm. 2

 

No comments:

Post a Comment

MANAGEMENT SYARIAH

  A. PENGAWASAN DALAM ISLAM Kata pengawasan dipakai sebagai arti harfiah dari kata controlling. Control adalah pengawasan, penilikan, peng...